Teknologi, Ikan dan Harapan Baru Dari Pesisir Kolaka

KOLAKA. MNN.COM —- Di tepi pesisir Desa Muara Lapao-Pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, sekelompok perempuan tampak sibuk di dapur sederhana. Mereka menimbang adonan, menata loyang, dan memasukkan “nutrikukis” ke dalam oven kecil. Tak jauh dari sana, beberapa kader posyandu mencatat berat badan balita menggunakan ponsel pintar.

Pemandangan itu bukan hal biasa di desa pesisir yang dulu bergantung penuh pada hasil laut dan tengkulak.

Inilah wajah baru masyarakat pesisir Kolaka setelah hadirnya Program Kosabangsa 2025 Pemberdayaan Masyarakat Zona Aktif Pertambangan dalam Penangangan Stunting Melalui Integrasi Teknologi Gizi NutriKukis dan Neurolearning di Kabupaten Kolaka, sebuah inisiatif pemberdayaan yang menggabungkan inovasi pangan lokal, teknologi digital, dan pendekatan neurolearning berbasis STIFIn.

Program ini digagas oleh tim dosen dan mahasiswa Universitas Sembilanbelas November Kolaka bersama mitra Universitas Halu Oleo, dengan dukungan hibah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sejumlah Rp. 260.100.000,-

Dari Tambang ke Tantangan Baru

Desa Muara Lapao-Pao berada di kawasan pertambangan aktif. Sejak tambang beroperasi pada 2013, hasil tangkapan ikan menurun drastis, dan banyak keluarga nelayan kehilangan sumber penghasilan tetap. “Pendapatan rata-rata keluarga nelayan hanya sekitar satu juta rupiah per bulan. Itu pun tidak menentu,” tutur Roslina, ketua tim pelaksana program.

Kondisi itu diperparah dengan meningkatnya kasus stunting pada balita, akibat asupan gizi yang tidak seimbang dan keterbatasan layanan posyandu.

Program Kosabangsa 2025 hadir dengan semangat membangun kemandirian dari bawah. Dua mitra utama menjadi fokus kegiatan: Posyandu Anggrek Bulan dan Kelompok Wanita Nelayan Teppoe.

Posyandu difokuskan pada peningkatan kapasitas layanan kesehatan berbasis teknologi, sementara kelompok wanita nelayan diarahkan untuk mengembangkan ekonomi produktif berbasis hasil laut.

Posyandu Digital dan Pendekatan Neurolearning

Salah satu inovasi yang menarik perhatian warga adalah penggunaan aplikasi digital posyandu berbasis pendekatan neurolearning STIFIn. Melalui aplikasi ini, kader dapat merekam data ibu hamil dan balita secara cepat dan akurat, tanpa harus menulis manual di buku register. Lebih dari itu, pelatihan konseling gizi berbasis karakter membantu kader memahami cara berkomunikasi efektif dengan ibu-ibu balita.

Baca Juga:  Kesebelasan Polenga FC,Raih Juara Satu Sepak Bola Kecamatan Watubangga

“Pendekatan neurolearning membuat ibu balita stunting memahami perilaku anak dan cara menyikapinya. Mereka belajar memahami bahwa setiap orang punya cara belajar dan merespons informasi yang berbeda,” jelas Dr. Roslina, S.S., M.Hum.

Hasilnya nyata. Dalam waktu dua bulan, 85 persen kader mampu menggunakan aplikasi digital secara mandiri, dan angka stunting turun dari 26 menjadi 15 anak. Bagi warga desa, pencapaian ini adalah harapan baru bahwa teknologi bisa menjadi jembatan perubahan, bahkan di daerah pesisir terpencil.

Ketika Limbah Ikan Jadi Pupuk dan Kue Bergizi

Tak kalah menarik adalah kisah Kelompok Wanita Nelayan Teppoe, yang beranggotakan 25 perempuan pesisir. Dulu mereka hanya mengolah ikan menjadi ikan asin, dengan keuntungan tipis. Kini, mereka berkreasi menghasilkan produk olahan bergizi seperti nutrikukis bulu babi, abon ikan, dan bakso ikan.

“Kami memanfaatkan gonad landak laut karena kaya protein dan omega-3, serta inovasi tersebut telah terdaftar secara dengan nomor paten IDS000004771 ” info langsung dari Prof. Dr. Wa Ode Salma, M.Kes sebagai ketua pendampig program.

Invensi ini berhubungan dengan komposisi dan nilai gizi suatu Cookies yang dibuat dengan bahan tepung beras dan kelapa parut yang sudah disangrai, gonad Diadema setosum, gula merah, gula pasir, kuning telur, kenari cincang, minyak kelapa, kayu manis, bumbu speku, vanili, soda kue, baking powder dan garam halus. Cookies invensi ini dalam 100 g mempunyai kandungan zat gizi total energi (458.03 Kcal); Lemak (17. 27 %); Protein (8.70 %); Vitamin E (2.62 mg), Vitamin A (29.74 mg); Magnesium (106.3 mg); Fe (2.63 mg) dan Zink (2.29 mg).

Dengan adanya invensi ini maka dapat dimanfaatkan sebagai alternatif makanan tambahan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak serta mencegah masalah kekurangan gizi pada anak balita

Baca Juga:  Peduli Sesama Ditengah Pandemi Covid-19, Dandim 1417/Kendari Membantu Penyandang Disabilitas Dengan Paket Sembako

Selain itu, kelompok ini juga mengolah limbah ikan menjadi pupuk organik cair. Pupuk ini digunakan oleh kader posyandu untuk kebun gizi desa, sehingga tercipta siklus ekonomi sirkular—limbah dari laut kembali memberi manfaat bagi tanah dan tanaman.

Berkat pelatihan pengemasan dan pemasaran digital, sebagian besar anggota kelompok kini memasarkan produk mereka di pasar sore Kecamatan Woloyang berlokasi di pinggiran pantai Babarina serta pemasaran melalui media sosial seperti Facebook. Pendapatan bulanan pun meningkat dari Rp1,2 juta menjadi Rp2,1 juta per orang.

“Sekarang kami tidak lagi bergantung pada tengkulak. Kami punya usaha sendiri,” ujar Bandri salah satu anggota kelompok, dengan senyum bangga.

Kolaborasi yang Menguatkan

Kekuatan program ini terletak pada kolaborasi lintas bidang. Mahasiswa terlibat aktif dalam pendampingan digitalisasi posyandu dan produksi olahan pangan, pemerintah desa mendukung fasilitas pelatihan, sementara LPPM universitas memfasilitasi administrasi dan pendanaan.

“Kami ingin menciptakan model pemberdayaan yang bisa direplikasi di desa pesisir lain,” tambah Roslina.

Model integratif ini tidak hanya meningkatkan ekonomi keluarga, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat untuk mandiri. Mereka belajar bahwa teknologi bukan ancaman, melainkan alat untuk memperkuat tradisi dan potensi lokal.

Harapan yang Tumbuh di Pesisir

Kini, setiap kali angin laut bertiup membawa aroma asin dan suara anak-anak bermain di halaman posyandu, masyarakat Muara Lapao-Pao punya alasan untuk tersenyum. Desa yang dulu dikenal dengan kemiskinan dan ketertinggalan, kini perlahan berubah menjadi contoh sukses pemberdayaan berbasis teknologi dan kearifan lokal.

“Kami tidak ingin hanya menjadi penerima bantuan. Kami ingin tumbuh bersama, dengan kemampuan kami sendiri,” ujar Husniati selaku ketua kader posyandu dengan mata berbinar.

Di tengah derasnya arus globalisasi, kisah Desa Muara Lapao-Pao menjadi bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal-hal sederhana — dari sepotong nutrikukis, sebotol pupuk cair, dan semangat untuk belajar hal baru. (*)

Pos terkait